Monday, June 2, 2008

INSPIRASI PAGI


Hikmah dibalik musibah

1 Juni 2008

Rekan saya banyak yang tertarik mendiskusikan musibah yg tertulis di dua tulisan sebelum ini. Salah satau teman saya akhirnya menyimpulkan bahwa kita -terutama suami- perlu lebih memperhatikan istri. Teman saya saat mendengar kabar ttg musibah itu sedang di Solo. Dia pun cepat-cepat pulang ke bandung. Dia berujar, “Pernah istri saya protes, kok saya lebih memperhatikan anak-anak dibanding ibunya…”. Teman sempat kaget mendengar hal itu, dia kira selama ini tidak ada masalah ttg hal itu. Bukankah wajar suami istri berfokus pada kepentingan anak-anak? Kali ini dia sadar bahwa ucapan istrinya itu punya makna yang mendalam.

Kita - eh saya - sering merasa bahwa kehidupan dengan pasangan kita normal-normal saja. Istri ngurus anak, suami kerja. Taken for granted. Kenyataannya kita sebagai pasangan perlu selalu ‘menyegarkan’ kembali romantisme kita sebagai pasangan. Yah, sesekali nonton bareng berdua saja. Yah, sering-sering ngobrol tentang minat masing-masing (bukan tentang anak melulu). Bukankah seringkali suami berkesempatan pergi ke luar kota, bahkan ke luar negeri, karena tugas, namun tidak bisa membawa istri? Enak sekali menjadi suami yang jalan-jalan terus sementara istri hanya sibuk dengan hal yang monoton..?

Saya tercenung dengan pendapat teman tersebut…

Damai Pak Pos!

Melihat tayangan di TV, setelah BBM naik ternyata terjadi gejolak di berbagai daerah. Mahasiswa ngamuk. Di Jakarta mahasiswa membakar ban di jalan depan kampusnya. Di Makassar mahasiswa menganiaya polisi, yang dibalas dengan serbuan polisi ke kampus. Sopir angkutan umum juga ngamuk dengan mogok kerja, bahkan merusak angkutan umum lainnya yang masih memberikan layanan. Ada yang mogok makan. Ada yang bunuh diri (sangat memprihatinkan!).

Banyak orang punya kebiasaan ‘membunuh tukang Pos’, yaitu melampiaskan kemarahan kepada orang yang berada di depannya. Misalnya ada tukang pos yang mengantar surat. Ternyata surat tersebut terlambat datang dari jadwal semestinya. Seringkali kekesalan langsung ditumpahkan kepada Pak Pos yang mengantar surat itu. Kesalahan ditimpakan kepada tukang pos. Padahal, belum tentu itu salah si tukang pos. Boleh jadi si pengirim surat menuliskan alamat yang tidak jelas. Boleh jadi jalanan macet, atau sepeda motor Pak Pos mogok di jalan karena kurangnya biaya pemeliharaan. Bahkan boleh jadi pihak pengirim surat memang terlambat mengeposkan, namun tidak mau mengakui!

“Jangan bunuh Pak Pos nya”, berdamailah dengan dia karena bisa jadi dia hanyalah korban dari masalah lain yang sesungguhnya.

Seringkali YANG ADA DI DEPAN MATA BUKANLAH SUMBER MASALAH SESUNGGUHNYA. Cobalah kita analisis 2 atau 3 lapis di belakangnya. Mungkin kita bisa temukan penyebab sesungguhnya.

Mungkin Anda pernah ribut dengan rekan kerja karena suatu hal sepele, misalnya kurangnya biaya operasional ketika kerja di lapangan. Mungkin saat itu kedua belah pihak sama-sama ngotot mempunyai pendapat yang benar, bahkan mungkin saling menyalahkan. Sebentar, … bukankah kedua pihak itu petugas lapangan yang sama-sama hanya bekerja? Mengapa saling bunuh antar prajurit? Jangan-jangan masalah sesungguhnya ada di pihak jenderal yang menugaskan. Jangan-jangan dua prajurit tersebut berkelahi membela sesuatu yang tak perlu dibela. Bukankah keduanya hanyalah korban?

Bila Anda saat ini sedang ribut dengan rekan kerja Anda karena suatu hal, maka sebaiknya segera sadar bahwa akar masalah mungkin bukan pada Anda maupun rekan Anda. Sebaiknya masalah dinaikkan kepada sumber masalah sesungguhnya. Mungkin atasan Anda. Mungkin atasannya atasan Anda. Yang jelas, kecil kemungkinan sumber masalah adalah rekan kerja di hadapan Anda tersebut. Dia juga hanya tukang pos!

Jadi, sangat menyedihkan ketika mahasiswa sebuah universitas di Jakarta memblokir jalan umum di depan kampusnya karena protes naiknya BBM. Bukankah pengguna jalan yang terganggu demo itu juga korban kecil yang terkena pedihnya kenaikan BBM? Bukankah dia teman senasib? Demikian pula bentrok mahasiswa dengan polisi, bukankah kebanyakan polisi adalah juga karyawan berpenghasilan pas-pasan saja, yang sama-sama susah mencukupkan gaji buat sekolah anaknya? Kenapa antar orang kecil saling menyusahkan?

Seharusnya kalau mau memblokir, blokir saja gedung DPR. Blokir saja kantor Presiden. Blokir saja komplek pejabat tinggi. Saat reformasi 1998 lalu, pendudukan gedung DPR Senayan memberikan hasil politik yang jelas. Bandingkan dengan pemblokiran jalan depan kampus yang hanya menyusahkan sesama orang susah.

Kini saatnya kita menjadi lebih bijak. Penyebab masalah sesungguhnya biasanya 3-5 lapis di belakang apa yang tampak di depan mata kita. Mari kita biasakan untuk mengembalikan masalah ke sumber masalah sesungguhnya. Sedangkan kita yang sama-sama mengalami masalah, sebaiknya saling senyum dan bekerjasama.

Damai Pak Pos! Damai kawan!